Minggu, 26 Februari 2012

Perbedaan Antara Karomah dan Istidroj


Banyak orang di jaman sekarang ini yang bangga apabila bisa melakukan sesuatu di luar kemampuannya, mereka menganggap bahwa Alloh SWT telah mengaruniakan sesuatu yang sungguh luar biasa pada dirinya. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas Perbedaan antara Karomah dan Istidroj.
Perlu diketahui bahwa siapa saja yang menginginkan sesuatu dan keinginannya itu dikabulkan oleh Alloh, maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba yang mulia di sisi Alloh, baik pemberian Alloh tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Alloh tersebut bisa berarti penghormatan Alloh untuk hamba-Nya (karomah) atau tipuan untuknya (istidroj).


Dalam Al-Quran, istilah istidroj diungkapkan dengan beberapa istilah:


1. Al-istidroj, seperti dinyatakan dalam firman Alloh:


Kami (Alloh) akan memperdaya mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A’rof [7]: 182)
Makna al-istidroj dalam ayat ini adalah Alloh mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Alloh. Pada prakteknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Alloh mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan.
Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual.
Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqom-maqom mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma’rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Alloh, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia.
Inilah yang dinamakan istidroj.


2. Al-makr, seperti dinyatakan dalam firman Alloh:

Maka apakah mereka merasa aman dari azab Alloh yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dari azab Alloh kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A’rof [71: 99)
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Alloh membalas tipu daya mereka. Dan Alloh sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali'Imron [31:54)
Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak menyadari.


3. Al-kaid (tipu daya), seperti dinyatakan dalam firman Alloh,
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Alloh, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (QS Al-Nisa' [4]: 142)


4. Al-imla (memberi tangguh), sebagaimana dinyatakan dalam firman Alloh:
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah. (QS Ali ‘Imron [3]: 178)


5. Al-ihlak (siksaan), sebagaimana dinyatakan dalam firman Alloh:
Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. (QS Al-An’am [6]: 44)
Dan dalam firman Alloh tentang Fir’aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir’aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.


Perbedaan antara karomah dan istidroj adalah bahwa pemilik karomah tidak begitu senang dengan karomah yang dimilikinya, bahkan karomah itu membuatnya semakin takut kepada Alloh, kewaspadaannya terhadap siksa Alloh semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidroj. Sedangkan pemilik istidroj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karomah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Alloh, dan tidak takut kepada siksa Alloh.
Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karomah, berarti yang dimilikinya bukanlah karomah tetapi istidroj.


Orang-orang yang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa keterputusan dari hadirat Alloh sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karomah. Tidak diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karomah, seperti rasa takut mereka kepada berbagai macam cobaan.
Rasa senang kepada karomah dapat memutuskan jalan kepada Alloh.
Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah:

 Hujjah pertama:
Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh karomah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karomah wali. Keutamaan karomahnya lebih besar daripada kebahagiaan karena karomah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karomah itu melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karomah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karomah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqoroh [2]: 32).
Dan Alloh berfirman, Dan mereka tidak menghormati Alloh dengan penghormatan yang semestinya (QS Al-An’am [6]: 91).
Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karomah.

Hujjah kedua:
Karomah adalah sesuatu yang senantiasa tergantung pada Alloh Swt. Rasa senang karena memiliki karomah adalah senang kepada sesuatu yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yangbukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?

Hujjah ketiga:
Orang yang yakin bahwa dirinya berhak memiliki karomah karena merasa amal perbuatannya memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa bahwa perbuatannya bernilai atau berpengaruh pada dirinya adalah orang yang bodoh.
Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti menyadari semua ketaatan makhluk di sisi Alloh itu hanya sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan nikmat-Nya itu juga sangat sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan keagungan Alloh hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.
Ketika Ustadz Abu ‘Ali al-Daqaq ra mengkaji firman Alloh yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, “Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Alloh adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Alloh Swt.”

Hujjah keempat:
Pemilik karomah merasa bahwa karomah yang dimilikinya justru untuk memperlihatkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Alloh.
Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong disebabkan karomah yang dimilikinya, maka batal lah segala sesuatu yang menyebabkannya menerima karomah.
Sikap seperti inilah yang membuat pemilik karomah tertolak.
Oleh karena itu, setiap kali Rosululloh Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirinya, beliau selalu mengakhirinya dengan kalimat, “Tiada kebanggaan,” maksudnya “Aku tidak bangga dengan karomah (mukjizat) yang kumiliki ini, yang aku banggakan adalah Zat yang memberi karomah (mukjizat).”

Hujjah kelima:
Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal’am begitu menakjubkan, tetapi kemudian Alloh berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal’am, Ia seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang yang memegang Taurot, tetapi tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu’ah [62]: 5),
juga firman-Nya kepada Bani Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka kemudian ada yang membangkang (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga dengan ilmu dan kezuhudan yang diberikan kepada mereka.

Hujjah keenam:
Karomah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak mulia adalah kehinaan.
Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, “Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti apa-apa.” Merasa cukup dengan kefaqiran adalah faqir, takwa dengan kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal yang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Faqir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karomah, sesungguhnya setiap ia melihat keperkasaan niscaya ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan niscaya ia melihat penciptanya.

Hujjah ketujuh:
Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk sifat-sifat iblis dan Fir’aun. Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A’rof [7]: 12)
dan Fir’aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51).
Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri.
Oleh karena itu, Rosululloh Saw. bersabda, “Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir adalah orang yang membanggakan diri.”

Hujjah kedelapan:
Alloh berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS Al-A’rof [7]: 144).
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99).
Ketika Alloh menganugerahkan karunia yang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.


Hujjah kesembilan:
Ketika Nabi Saw. disuruh oleh Alloh untuk memilih antara menjadi raja yang nabi atau hamba yang nabi, beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukjizat.
Namun Nabi Saw. meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan (‘ubudiyah) kepada Alloh.
Sebab ketika menjadi seorang hamba, kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan kepada budaknya.
Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai peng-hormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud, “Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya.”
Alloh berfirman tentang mi’roj Nabi Saw., Maha suci Alloh yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isro’ [17]: 1)


Hujjah kesepuluh:
Mencintai tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya. Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Alloh menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya mencintai bagian dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu.
Orang seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak mencintai tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh apa yang dicarinya.
Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS Al-Furqon [25]: 43).
Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan bahwa mudhorot karena menyembah berhala tidak sebesar mudhorot karena menyembah nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adanya karomah.

Hujjah kesebelas:
Alloh berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan keperluannya (QS Al-Tholaq [65]: 2-3).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Alloh, maka tidak akan memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu.
wallohu a'lam